Sabtu, 31 Desember 2016

Aku, Alumnus Tsunami Jilid 3

Setelah terjangan gelombang tsunami pertama, air laut sempat menggenang sedalam 4 meter selama puluhan menit di pohon tempat aku bertahan. Ternyata, bukan di pohon ini saja yang berpenghuni. Disana, di pohon kelapa, pohon mangga, dan atap rumah, ada beberapa orang lelaki yang berhasil menyelamatkan diri. Ya….. umumnya hanya lelaki yang berhasil memanjat tempat yang lebih tinggi.
Pohon yang kutumpangi tidaklah kokoh seperti semula, kira-kira telah miring 30 derajat terhadap garis vertikal. Langsung  aku berfikir keras untuk menyusun strategi, apabila kemungkinan terburuk terjadi,  yaitu datangnya gelombang susulan yang lebih dahsyat. Timbullah ide untuk berpindah ke pohon mangga, jika kemungkinan buruk itu terjadi. Karena pohon mangga di dekat tempat aku bertahan, batangnya lebih besar dan kokoh serta jaraknya hanya sekitar 10 meter saja. Dengan kemahiran berenang yang aku miliki, aku yakin bisa sampai ke pohon mangga tersebut dan menjadi penghuni yang kedua.
Sembari berfikir strategi tadi, aku mencoba mengeringkan rambutku yang basah terkena air lumpur tsunami. Tiba-tiba wanita yang selamat bersamaku tadi, memecahkan lamunanku. “Dek!, tangannya luka tu”. Spontan aku menoleh ke bagian yang ditunjuk kakak itu. Terdapat luka gores sepanjang 6 cm di lengan dalam sebelah kiri dekat ketiak. Lebar luka tersebut kira-kira 0,5 cm. waktu itu perihnya tidak terasa, sampai aku tidak tahu ada luka di lenganku. Dan prediksiku, itu terjadi saat bajuku terobek dan terlepas dibawa arus. Saat itu hanya di pelipis kanan saja yang terasa sakit setelah dihantam kayu .
Tak berselang lama, remaja yang bersamaku di pohon tempat aku bertahan memberi isyarat dengan jarinya untuk menyuruhku melihat ke bawah. Ternyata, di sana ada seorang remaja putri yang sudah terlungkup dan mengapung tepat di bawah pohon yang aku tumpangi dan maaf sudah tidak berpakaian lagi.
Suasana saat itu sangat sepi, seperti berada dalam hutan tanpa kicauan burung. Bahkan, angin sepoi-sepoi seperti mogok kerja. Hanya mentari di waktu dhuha, yang melototi hingga air di rambut dan kulitku mengering.
Sekuat apapun laki-laki, sekekar apapun ia, kulihat banyak diantara mereka yang menangis tersedu-sedu di sana. Aku hanya bisa melamun mengingat kejadian yang tanpa terduga dan di luar nalar berpikirku serta berdoa dalam hati, semoga kakak kandungku selamat.
Air belum kembali ke laut, seolah ia ingin mendengar suara tangisan dan rintihan atau apa saja yang keluar dari mulut anak manusia terhadap aksi mereka. Sesekali terdengar rintihan orang minta tolong di balik tumpukan sampah tsunami yang menggunung. “bisa berenang, dek?” tanya seorang penghuni pohon kepadaku, yaitu seorang bapak yang sama-sama sedang berjuang untuk hidup. Aku tahu arah pertanyaan itu kemana, yaitu pergi menolong orang yang meminta bantuan tersebut dengan cara harus melintasi genangan air lumpur yang tingginya hingga 4 meter. Pertanyaan itu juga membuatku teringat peristiwa satu tahun yang lalu, dimana aku spontan menolong salah satu mahasiswa tenggelam yang ikut rombongan wisata ke sebuah sungai yang sangat jernih di wilayah Aceh Besar. Namun, karena tanpa berpikir panjang, aku hampir ikut menjadi korban. “Maaf pak, saya pernah menolong orang tenggelam, tapi dia naik kepundak saya, sehingga saya jadi ikut tenggelam. Jadi, saya trauma. Tapi, kalau ada tali yang menghubungkan antara saya dengan pohon ini, saya berani menuju ke tumpukan sampah itu”, jawabku. Ia pun memahami dan akhirnya kami hanya bisa mendengar rintihan itu, tanpa bisa berbuat apa-apa.
Diam dan sesekali harus berkelahi dengan serdadu semut yang sedari tadi terus mencoba mengusirku dari daerah kekuasaannya. sambil menunggu air surut dan berharap adanya helicopter yang datang menolong kami seperti di luar negri. Kemudian, pikiranku mulai kacau. Pertanyaan demi pertanyaan terus muncul di kepalaku. Apakah keluargaku di Langsa juga kena tsunami, apakah seluruh dunia terkena dampaknya, apakah kota Banda Aceh juga lenyap di telan tsunami, mau kemana lagi setelah ini, apakah ada bantuan secepat kilat yang datang menjemput atau aku akan mati sebentar lagi? Kembali wanita itu merusak lamunanku dengan bertanya “ Dek, itu suara azan, ya?. Aku mencoba untuk mendengarnya, dan ia benar ada suara azan yang terdengar sayup-sayup di sebelah timur. Tanpa dikomando akupun ikut mengumandangkan azan di pohon tempat aku bertahan. Setelah azan selesai, aku pekikkan takbir dengan lantang di setiap arah. “ Allahu Akbar….!!!!”, di arah Selatan dan aku mendengar ada balasan sahutan takbir pula dari arah tersebut. Kemudian, ke arah Barat dan Utara. Keduanya, mendapat sahutan takbir kembali. Terakhir, aku arahkan takbir ke sumber suara, yaitu kea rah Timur, tapi tidak ada jawaban di sana. Sempat terlintas pertanyaan dalam hati, kenapa tidak ada balasan?
Setelah itu, suara tangisan berubah menjadi zikir masal. Banyak lantunan “ Laailahaillallah” , istighfar, dan takbir, sayup-sayup terdengar. Alhamdulillah, banyak orang kembali mengingat Allah SWT, dimana sebelumnya hanya tangisan yang terdengar atau hanya diam termenung, sambil menunggu air kembali surut.
Setelah beberapa menit air menggenang, perlahan ia mundur kembali ketempat kediamannya semula, laut. Tidak memakan waktu begitu lama, hanya sekitar 5 menit saja, air setinggi 4 meter hilang bak ditelan bumi. Tanpa dikomando, beberapa orang mulai turun dari atas pohon dan atap rumah. Diantara mereka ada yang mencoba untuk mencari keluarganya, dan ada pula yang kembali menangis histeris sambil memukul-mukul sisa air yang menggenang di tanah. Ya…., seorang pria berbadan kekar menangis histeris, aku lihat ia duduk bersimpuh, mungkinkah semua harta dan keluarganya sudah habis digusur oleh air tsunami?
Aku mencoba untuk ikut turun, tetapi bapak yang bersama kami melarang untuk turun. Dia menyarankan, agar menunggu beberapa menit lagi, sampai keadaan benar-benar aman. Prediksi bapak itu tidak meleset, karena tidak begitu lama air itu surut, kami melihat dengan mudahnya dari atas pohon, gelombang tsunami kembali terlihat di bibir pantai. Maklum, bangunan rumah penduduk hanya tinggal pondasinya saja, sehingga setiap orang walaupun tidak berada di atas ketinggian, bisa melihat bibir pantai dan suara ombak dengan jelas. Padahal, jarak kami dengan pantai lebih kurang 3 km.
“ek….Lo….m !!!, ek…..lo….m!!!” (naik lagi !!!, naik lagi !!!), suara intruksi atau sekedar informasi itu terdengar dengan jelas. Sehingga, setiap orang yang mendengarnya, pasti akan lari menuju tempat yang lebih tinggi atau lebih tepatnya kembali ke posisi semula.
Gelombang itu semakin mendekat dan aku mencoba untuk menjalankan rencana yang telah aku buat. Tapi, usulan bapak itu membuatku membatalkan rencana tadi. Dia mengusulkan agar semua yang berada di atas pohon, bekerja sama untuk menyingkirkan semua sampah (TV, Kulkas, Komputer, Kayu, Kasur, seng, dsb) yang nantinya datang dibawa arus tsunami, agar tidak menumpuk di pohon tempat kami bertahan. Hal ini dapat berakibat fatal, karena dapat membuat pohon terus miring dan akhirnya bisa tumbang. Ide yang cemerlang menurutku, karena menjadi sebuah “tim penyelamat bersama” lebih baik daripada hanya berupaya untuk menyelamatkan diri sendiri.
Kulihat arus semakin kencang, walaupun ketinggian gelombang tidak sedahsyat yang pertama. Tapi, ia juga bisa membawa malapetaka dengan mendatangkan jutaan sampah yang terus mendesak dan mendorong siapa saja yang dilewatinya. Jantungku mulai berdetak kencang, keringat dingin mulai keluar. Arus gelombang kedua itu terus-menerus mendekat dengan semangat. Ibarat sebuah kumpulan pasukan yang mulai datang menyerang dengan tombak dan hunusan pedang.



Bersambung …… 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tolong berikan komentar yang membangun ! Trim`s