Sabtu, 23 April 2016

Aku, Alumnus Tsunami Jilid 2

Aku masih terus berlari dengan nafas yang tinggal satu-satu. Sesekali aku lihat ibu-ibu yang menggandeng 3 orang anaknya. Ada yang membawa bayi. Namun, tak seorang bapak yang membawa anaknya lari. Mungkin ada, kawan….! Namun, tak terlihat olehku pada saat itu. Sesekali juga, aku mengenal orang-orang yang jarang pergi beranjak ke mesjid ketika azan berkumandang. Mereka juga ikut berlari.

Aku terus berlari, hingga melihat ada sekumpulan orang yang naik keatas mobil truck di balik serumpun pohon bambu. Aku juga berniat untuk naik. Namun, mobil itu tidak sempat jalan, kerena ombak itu langsung mengejutkan mereka. Ombak itu menghantam pohon bambu tersebut, sehingga ia pecah berkeping-keping. Pecahannya terbang ke segala penjuru membasahi tanah yang gersang. Pecahan itu ibarat ribuan kelereng sebesar bola pimpong yang dilemparkan.

Melihat kejadian itu, aku kembali tancap gas. Sambil melihat seorang kakek yang berdiri tegak memegang tongkat di depan rumahnya yang berlantai dua. Ia membuka mulutnya lebar-lebar, matanya melotot dan jari telunjuknya menunjuk ke arah ombak seperti patung para jendral korban PKI di sumur buaya, dimana salah satu jendral tersebut menunjuk ke arah sesuatu. Mungkinkah lubang buaya itu ?

Perjuangan belum berakhir, kawan ! Sambil berlari, hatiku berbicara lagi. “Aku tak sanggup lagi berlari, aku ingin terbang saja” Jantungku berdetak sangat kencang, nafasku hampir hilang. Aku mulai berputus asa. Oh…Tuhan seandainya aku punya sayap, sambil wajahku menengadah ke langit.

Ketika aku menengadah ke langit, aku melihat seorang anak kecil berumur sekitar 8 tahun yang semangat memanjat pohon kelapa. Akhirnya, muncul sebuah ide bahwa untuk selamat harus memanjat pohon. Ah….kenapa tak dari tadi terpikirkan ? oya….selama itu aku masih menjadi reptil, kawan !

Tanpa pikir panjang, akhirnya terlihat sebuah pohon yang tidak begitu besar. Aku langsung menaikinya. Batangnya hanya berdiameter sekitar 10 cm. Pohon ini biasanya digunakan oleh penduduk di daerah Aceh bagian pesisir pantai sebagai pagar. Baik di ladang maupun di rumah mereka, yang akhirnya aku ketahui bahwa pohon itu bernama “kedondong pagar”.

Hanya tiga detik aku diberi kesempatan untuk menarik nafas panjang, sebelum di tenggelamkan. Detik pertama, air setinggi lutut mulai menghantam pohon yang kunaiki. Hantamannya membuat pohon berguncang, namun tidak membuatnya roboh. Detik kedua, air setinggi dua meter menghantam. Pohon mulai condong atau bengkok kebawah. Pada detik kedua ini, pandanganku tidak lagi menuju ke arah bawah, karena aku melihat sesuatu yang besar menuju ke arahku, yaitu sebuah atap rumah yang masih lengkap bersama pondasi dan seng-seng yang tersusun rapi menuju ke arahku. Ia datang bersama air yang tingginya mengalahkan postur tubuhku yang hanya setinggi 163 cm, walaupun saat itu aku berada di atas pohon.

Dari detik pertama hingga kedua, air bah itu belum ada sedikitpun menyentuh tubuhku. Air mulai mendorongku bersama pohon itu di detik yang ketiga. Pohon itupun rebah bersamaku. Namun, yang membuat rebah pohon itu bukanlah atap rumah yang aku lihat. Aku tidak tahu penyebabnya, mungkin saja ada balok besar yang menghantam dasar batang pohon, atau mungkin air yang begitu deras. Aku mulai tenggelam dan terseret air saat atap rumah itu berjarak sekitar dua atau tiga meter lagi dariku.

Aku tenggelam ! Terasa sangat gelap di dalam air ini. Berbeda dengan saat aku menyelam di dalam air seperti biasa saat berenang dengan teman-temanku. Air ini sangat berat kawan, seperti ada yang menindih tubuhku. Aku tak bisa bergerak sedikit pun. Tubuhku seperti di pres atau di apit oleh dinding, baik dari kanan maupun dari kiri. Posisiku seperti berdiri dipinggir jalan memanggil taksi dari kejauhan, dengan tangan kanan di angkat ke atas dan yang kiri tetap di tempatnya. Kemudian, ada yang menarik bajuku hingga terkoyak dan terlepas secara paksa. Getarannya, terasa di badan. Sangat nyaring alias renyah terasa. Seperti suara kain kafan yang dikoyak, namun ini tidak ada suaranya. Hanya getarannya saja yang terasa di badan.

Seteguk air tsunami, aku minum. Soal rasa pasti beda. Bukan seperti susu coklat saat kita santai di rumah. Rasanya kelat bercampur asin, kawan !

Mau tau apa yang aku pikirkan saat tenggelam ? Aku takut akan dosa yang telah aku lakukan kalau aku nantinya benar-benar tewas! itu saja.

Ada sekitar 15 detik aku berada di dalam air, kemudian tangan kananku menyentuh sebuah kayu yang berukuran 2x4 inch. Mungkin itu kayu yang digunakan untuk rangka atap rumah warga yang ikut hanyut disapu tsunami. Tanganku langsung spontan memegang kayu itu dan menarik tubuhku yang berada di dalam air. Ketika kepalaku baru muncul kepermukaan, sebatang kayu langsung menghantam pelipis mata kananku. Sakit sekali rasanya, namun rasa sakit itu sedikit terlupakan disebabkan oleh kegembiraan yang kudapatkan, yaitu bisa menghirup udara segar kembali. Sungguh nikmat Allah sangat besar, kawan ! Lega sekali rasanya.

Semangatku untuk hidup, kembali datang. Aku tidak seperti reptil lagi, kawan ! Naluri kemampuanku untuk berenang membuat aku tenang berada di air. Spontan, kedua kakiku bergerak untuk mengayuh tubuhku menuju ke sebuah lemari kecil yang mengapung di depanku. Sekitar 4 meter jaraknya.

Namun, apa yang terjadi ?
Ternyata, di sekelilingku banyak sampah-sampah tsunami yang mengapung dan kebanyakan adalah kayu. Tentu saja kaki yang spontan aku kayuh terbentur dengan benda keras itu. Uh…..sakit, kawan ! Sehingga, hanya kedua tangan yang bisa aku gunakan untuk menuju lemari kecil itu.

Akhirnya, lemari itu kuraih dan aku angkat seluruh tubuhku ke atas lemari itu. Lemas, letih, lesu, lega, dan entah apalagi, telah bercampur menjadi satu. Kemudian, lewat di depanku seorang wanita yang hanyut terbawa arus. Mungkin, sekitar 27 tahun umurnya. Ia meminta bantuanku. Aku perhatikan ia juga bisa berenang, mungkin karena lelah berkejaran dengan ombak membuat tubuhnya lemah. Ya…sama sepertiku.

Sempat setan menggodaku untuk membiarkannya tetap berada di dalam air. Karena, lemari itu kecil (hanya mampu mengapungkan satu orang saja). Tapi aku bisa berenang dan aku laki-laki, kawan ! Tentu, kekuatan fisik melebihi wanita. Sehingga, kuambil keputusan untuk membiarkannya naik ke atas lemari itu. Namun, ia malu. Karena, ia pakai baju daster dan sudah robek-robek dihantam tsunami beserta isi yang di bawa oleh tsunami itu (kayu, seng, besi, kawat berduri, manusia, dll). Aku bujuk ia untuk tetap naik. Akhirnya, ia mau untuk mengangkat tubuhnya ke atas lemari itu. Ah…kalau kondisi kita dalam keadaan ketakutan. Syahwat itu hilang, kawan…! He…he…..

Setelah itu, aku mulai mengamati sekelilingku. Ternyata aku berada di kawasan air yang berarus tenang. Namun, arus air ini akan membawa kami menuju kembali ke arus yang deras. Uh…ternyata belum selesai perjuanganku, kawan ! Melihat kondisi seperti ini, maka aku mengambil keputusan untuk naik ke atas pohon. Ternyata, lemari yang kami tumpangi menuju ke sebuah pohon. Pohon kedondong pagar juga, namun agak lebih besar dan kulihat di sana sudah ada seorang lelaki yang berumur sekitar 30-an keatas sudah menjadi penghuninya.

Agar lebih cepat, Aku kayuh tanganku menuju pohon itu. Setelah dekat, kutarik cabangnya dan aku berhasil menarik badanku. Sedangkan, wanita itu dibantu oleh laki-laki di pohon tersebut. Pohon ini tidak berdiri tegak lagi. Agak miring, karena di hempas oleh tsunami dan kemungkinan besar bila ombak kedua datang lagi, maka akan roboh.

Aku, wanita dan laki-laki tadi, seorang anak remaja, dan seekor kucing jantan menjadi penghuni sementara pohon ini. Sedangkan penghuni tetapnya adalah ribuan semut daun (read : angkrang) yang terus berusaha untuk mengusir kami semua dari pohon yang telah menjadi rumah mereka.

Bersambung ke Jilid 3 ....

Aku, Alumnus Tsunami Jilid 1

Ini kisah nyata, kawan ! Aku ceritakan, agar bisa diambil pelajaran. Tentunya rasa takut, gembira, sedih, dan segala perasaan yang kualami pada saat kejadian tidak sebanding dengan perasaan yang kutuangkan di dalam kisah ini.

Semoga kisah ini menjadi sebuah pelajaran tentang arti dari sebuah kehidupan. Bukannya aku ingin menjadi pahlawan atau prasangka lainnya yang akan dimunculkan syaithan dari pikiran para pembaca dari kisah ini. Mudah-mudahan bermanfaat. Semoga !

Sambil membuka kembali buku harianku, untuk mengenang kembali peristiwa Tsunami di Aceh. Tepatnya di Komplek Pola Keumala Kajhu pada tanggal 26 Desember 2004.

Hari itu adalah hari Minggu. Sepertiga akhir di malamnya, di hiasi bulan purnama yang besar dan indah. Awan tipis dan sedikit bintang, turut menghiasi di sepertiga akhir di malam itu. Aku sempatkan untuk shalat tahajud sejenak dan kubangunkan kakakku untuk turut serta menghidupkan malam, karena menghidupkan malam dengan beribadah kepada Allah SWT adalah sunnah dari Rasulullah SAW. Selain itu, ada rasa takut dalam hati karena akhir-akhir ini aku berfirasat ada malaikat Izrail yang sering main ke kamarku.

Pagi hari yang cerah, disinari mentari pagi yang sangat indah. Sangat bagus untuk kesehatan tulang dan kulit bagi mereka yang peduli dengan kesehatan. Aku dan kakakku menyiapkan sarapan pagi dan kulihat dia baru selesai merendam kain cucian. Aku disuruhnya untuk membeli bahan-bahan untuk sarapan seperti tempe dan kue di warung kelontong pak Abdullah (Pak Lah). Seorang perantauan dari Kuala Simpang (Aceh Tamiang) yang sehari-hari juga bekerja sebagai seorang Loper Koran Harian Serambi Indonesia.

Akhirnya, siap sudah sarapan pagi. Namun, belum sempat kucicipi makanan di atas meja,bumi berguncang yang pada akhirnya nanti, aku ketahui dengan kekuatan 8,9 SR. Guncangan yang terdahsyat seumur hidupku. Bahkan kakakku yang telah lama tinggal di Banda Aceh sejak SMA angkat bicara bahwa ini gempa terkuat selama ia tinggal di Banda Aceh. Maklum, memang sebelumnya Banda Aceh sudah sering diguncang gempa dari pada daerah lain di seluruh Aceh.

Kakakku yang lebih dahulu menyadari bahwa ada gempa, akhirnya aku pun lari keluar rumah, tepatnya di belakang rumah. Karena saat itu, pintu yang terbuka hanya pintu belakang. Bumi terus berguncang lebih kurang 5 menit. Di tengah guncangan tersebut hanya zikir yang keluar dari lisan kami “Ya Allah, Allahu Akbar , Lailahaillallah !” dan terdengar juga jeritan tangis anak-anak kecil tetangga rumah serta gesekan suara seng dan suara benturan tembok pagar rumah cost kami dan juga rumah tetangga. Guncangan yang sangat kuat, aku dan kakakku duduk sambil berpegangan dengan semen pondasi kamar mandi. Tubuhku berguncang dari kiri ke kanan lebih kurang 90 derajat.

Ketika gempa mulai reda, cepat-cepat aku matikan api kompor yang masih menyala untuk menanak nasi, sedangkan kakakku berlari menuju kamarnya untuk mengambil jilbab. Kemudian kami lari keluar (depan rumah).
Badan masih gemetar, namun kusempatkan melihat jam ternyata pukul 08.10 WIB, berarti gempa tadi sekitar pukul 08.05 WIB. Kami tak berani masuk kedalam rumah selama 20 menit, karena takut akan ada gempa susulan seperti tadi.

Selama diluar (di depan rumah), kulihat semua orang keluar dari rumah mereka. Dari wajah-wajah mereka terlihat jelas ketakutan yang sama seperti yang aku juga rasakan. Peristiwa ini, khususnya gempa saat itu mengingatkan aku akan tragedi kontak senjata antara RI-GAM. Pada saat itu, mobil L300 yang aku tumpangi terjebak dalam pertarungan sengit mereka di daerah Meureudu. Tepatnya di bulan Juni 2003. Kepulangan aku saat itu untuk menanda tangani ijazah SMA di Langsa. Karena, aku ke Banda Aceh untuk mengikuti Bimbingan Belajar di Phi Beta Lampriet. Uh….sama-sama menakutkan, kawan !

Selain pemandangan wajah ketakutan ada juga sisa-sisa tangis anak-anak yang sebenarnya juga bahagian dari ketakutan yang mereka ekspresikan lewat tangis. Ya…begitulah anak-anak. Kemudian, ada juga teman atau saudara para tetangga yang hadir mengunjungi dengankereta (red : sepeda motor) sambil melihat-lihat situasi dan kondisi komplek pasca gempa terjadi. Namun, ada yang kurang aku suka dari tingkah mereka saat itu, yaitu terlalu ceria dengan tertawa terbahak-bahak dengan adanya gempa. Mungkin lucu kali ye…..

Sempat aku berujar kepada kakakku yang sedari tadi sibuk menghubungi orang tua kami di Langsa lewat SMS “Kok…pada ketawa ya ? nanti ditumpahkan air laut itu, baru tahu !” dan SMS-nya pun tak masuk-masuk. Kulihat juga seekor kucing yang sedari tadi memandangi genangan air di samping rumah cost kami yang bergetar perlahan-lahan akibat gempa kecil.

Ketika, gerak-gerik kemunculan gempa mulai tidak dirasakan lagi, kami dan orang-orang di satu blok dengan rumah cost kami pun mulai masuk ke rumah masing-masing. Namun, siapa sangka setelah kami masuk lebih kurang 15 menit, gempa susulan datang lagi dan kami pun harus keluar rumah.

Di luar rumah, aku melihat seorang ibu rumah tangga yang berlari-lari kecil sambil menggendong anaknya menuju suaminya sambil menangis. Kesimpulan dari obrolan mereka adalah orang-orang sudah pada lari, tapi tak tau penyebabnya. Dan benar, aku melihat pemandangan dari kejauhan tepatnya jalan utama komplek menuju jalan raya, orang-orang sudah pada lari ketakutan. Aku mengira ada kontak senjata, karena komplek kami posisinya tepat di belakang penjara baru yang belum rampung, namun ada posko BKO Brimob yang telah menempati penjara tersebut sejak Presiden RI (Mega Wati Soekarno Putri binti Soekarno) menanda tangani Darurat Militer di Aceh tanggal 18 Mei 2003.

Kulihat disana, ada orang yang berlari hingga jatuh terguling-guling, ada juga yang berlari sambil melihat-lihat ke arah belakang mereka. Semuanya berteriak histeris. Aku hanya terdiam, dan tidak tahu harus berbuat apa. Aku sudah mulai takut, dan tidak bisa bergerak. Terasa bumi mulai berguncang dari atas ke bawah seperti gemeratak gigi anak manusia yang menggigil karena kedinginan. Kepalaku hanya dipenuhi dengan pertanyaan “Ada apa ini?” tanpa bisa berbuat apa-apa. Sesekali aku melihat anak tetangga di depan rumah kami yang memandangi wajahku yang ketakutan. Mungkin usianya baru sekitar 4 tahun. 

Otakku sudah bekerja seperti reptil. Tidak manusiawi lagi kawan……aku kalaf…aku dikalahkan oleh ketakutan. Otak jernihku hilang. Aku tidak bisa berpikir. 

Ditengah ketakutan yang luar biasa, terdengar suara yang menyuruhku untuk lari ke arah mesjid yang tak lain adalah suara kakakku sendiri. Aku ikuti intruksinya, aku berlari dengan terus memikirkan apa yang sedang terjadi. Kenapa orang pada ketakutan, suara kontak senjata tidak terdengar, bumi bergemeretak, hanya suara seperti gemuruh hujan deras yang datang menuju ke arah komplek kami dari arah kejauhan. 

Setelah sampai di persimpangan menuju mesjid, aku melihat orang-orang yang berlari di depanku selalu sesekali melihat ke arah belakang mereka dengan wajah ketakutan, sehingga membuatku penasaran untuk ikut melihat apa yang mereka lihat. Entah itu ilusi atau bukan, yang jelas aku melihat air setinggi lebih kurang 12 meter menelan rumah-rumah penduduk. Warnanya coklat tua, persis seperti ombak di pantai namun tinggi dan warnanya berbeda, kawan…!. Ganas dan sangat menakutkan. Semangatnya tinggi untuk menghancurkan dan menelan siapa saja yang dilewatinya.

Melihat ombak yang menggulung-gulung itu, tubuhku bergetar kuat. Aku sudah menjadi reptil, kawan ! Aku tak mengenal lagi harta, saudara, dan teman. Sendal (alas kaki) kucampakkan, hanya dengan kaki “ceker ayam” aku berlari menghindari “monster” (ombak) itu. Lari seperti orang yang baru minum minuman keras. Aku mabuk kawan, tapi aku tidak pernah minum minuman haram itu. Terkadang “oyong” ke kanan kadang ke kiri, bahkan hampir saja aku masuk ke dalam parit. Aku rasa juga, pada saat itu bumi tidak sedang berguncang, hanya bergemeretak karena hentakan dari pijakan kaki sang ombak.

Aku sudah menjadi reptil yang ketakutan, kawan ! Sesekali, aku mendengar panggilan kakakku di belakang, mungkin jaraknya hanya 10 meter saja. Karena, setiap aku dengar panggilan itu aku berhenti berlari, namun ketika aku melihat ombak di belakangnya, aku terpaksa harus mematuhi langkah kakiku yang terus ingin berlari.
Hanya tiga kali aku berhenti dan menoleh kebelakang serta melihat kakakku yang juga berjuang menyelamatkan diri. Ketika aku melihatnya, kembali ingatan ku kembali bahwa “itu adalah kakakku, aku harus menunggunya !” . Namun, ombak itu membuat aku lupa semuanya. Aku sudah menjadi seperti reptil, kawan ! 

Setelah itu, telingaku mulai tuli. Tak ada yang bisa terdengar lagi. Hanya bunyi“nging….nging….nging…..” dari dalam telinga. Aku terus berlari sambil bertanya dalam hati“Apakah ini sudah kiamat ? namun, aku masih melihat matahari terbit dari timur”. Oh…berarti ini azab !”

Kulihat hanya wajah histeris di sana. Mulut yang menganga lebar dan mata yang melotot tajam menjadi pemandangan yang mengerikan. Terkadang aku melihat ada yang sudah terjatuh tak sanggup berlari, mereka hanya bisa melotot dan mulut menganga lebar sambil menunjuk ke arah datangnya ombak.

Bersambung ke Jilid 2.....